Beranda | Artikel
Mengenal Nama Allah Ash-Shamad
Senin, 13 Juli 2020

“Ash-Shamad” adalah salah satu nama Allah Ta’ala yang agung, yang terdapat di dalam surat Al-Ikhlas. Surat Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan sebagian orang-orang musyrik yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengatakan, 

انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ

“Sebutkan nasab Tuhanmu.” Maka Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah, “Dia-lah Allah, Tuhan Yang maha esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1) (HR. Tirmidzi no. 3363, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa riwayat dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum tentang tafsir dari nama Allah “Ash-Shamad”. 

Tafsir pertama

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي لا جوف له

“Yang tidak memiliki al-jauf (rongga perut untuk menampung makanan).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/665 dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, 2/22/1162)

Baca Juga: Mengenal Nama Allah “Al-Awwal”, “Al-Akhir”, “Azh-Zhahir” dan “Al-Bathin”

Tafsir kedua

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد الذي يصمد إليه في الحوائج

“Yang menjadi tujuan (tempat bergantung) agar semua kebutuhan terpenuhi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhiid, 2/62; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/303/687; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/159/104)

Artinya, Allah Ta’ala adalah Dzat yang menjadi tempat bergantung semua makhluk, sehingga apa yang mereka butuhkan itu bisa terpenuhi. Dengan kata lain, semua makhluk membutuhkan Allah Ta’ala.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan (20: 245),

إنه المستغني عن كل أحد، والمحتاج إليه كل أحد.

“Yang tidak membutuhkan segala sesuatu dan segala sesuatu membutuhkan-Nya.” Ini adalah penjelasan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Tafsir kedua ini tidak bertentangan dengan tafsir yang pertama, bahkan selaras dan merupakan konsekuensi dari tafsir pertama. Hal ini jika Dzat Allah Ta’ala itu tidak membutuhkan yang lainnya (termasuk tidak membutuhkan makanan dan minuman), maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang sempurna sehingga layak menjadi tempat bergantung semua makhluk. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Pemaknaan Ash-Shamad sebagai Dzat yang menjadi tempat bergantung semua hajat kebutuhan adalah pemaknaan yang benar. Pemaknaan ini juga menguatkan dan menunjukkan pemaknaan yang pertama. Pemaknaan ini tidaklah menafikan pernyataan bahwa Allah tidak memiliki rongga. Bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki rongga (untuk menampung makanan dan minuman) adalah sebuah keniscayaan, karena Allah Ta’ala dibutuhkan oleh semua manusia. Hal ini karena kebutuhan terhadap sesuatu didasari atas sifat yang ada pada sesuatu tersebut.” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/556)

Baca Juga: Saatnya Kita Mengenal Nama Allah “asy-Syaafiy”

Tafsir ketiga

Yang dimaksud dengan Ash-Shamad adalah,

الصمد : السيد الذي قد انتهى سؤدده

“Pemimpin yang mencapai puncak kesempurnaan dalam kepemimpinannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 1/299/666 dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat, 1/157/99)

Ada juga yang menafsirkan Ash-Shamad dengan,

الذي لا يأكل الطعام

“Dzat yang tidak makan (tidak butuh makanan).” 

Ada juga yang menafsirkan dengan,

الباقي بعد خلقه الدائم

“Yang tetap ada, meskipun semua makhluk tiada.“ (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, 2/62)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Kami telah menegaskan di pembahasan yang lain bahwa mayoritas tafsir ulama salaf tidaklah berbeda (bertentangan satu sama lain). Akan tetapi, terkadang mereka menjelaskan satu sifat dengan sifat (penjelasan) yang bermacam-macam. Terkadang, setiap ahli tafsir menyebutkan satu jenis atau person tertentu hanya sebagai contoh saja (bukan sebagai pembatasan). Hal ini untuk memberikan penjelasan kepada penanya, seperti seorang penerjemah yang ditanyakan kepadanya, apa itu roti? Lalu dia menyebutkan roti jenis tertentu sebagai contoh (bukan untuk membatasi bahwa roti hanya itu saja, pent.).” (Bayaan Talbiis Jahmiyyah, 7/535)

Kesimpulan

Kesimpulan, semua tafsir atau penjelasan ulama di atas adalah benar, karena intinya kembali bahwa Allah Ta’ala Maha sempurna dalam segala hal. Dia tidak membutuhkan makhluk lainnya, siapa dan apa pun makhluk tersebut. Bahkan sebaliknya, seluruh makhluk membutuhkan Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana perkataan Muqatil,

إنه: الكامل الذي لا عيب فيه

“Sesungguhnya Ash-Shamad adalah Dzat yang maha sempurna, yang tidak memiliki cacat (aib) sedikit pun.” (Tafsir Al-Qurthubi, 20/245)

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Kantor YPIA, 29 Syawal 1441/ 21 Juni 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/57399-mengenal-nama-allah-ash-shamad.html